Selasa, 18 Desember 2012

Pertemuan Singkat


            “Nanda! Sini dulu!” panggil Pak Rudi. Teriakan Pak Rudi mengentikan langkah Nanda dan Nanda segera menuju ke ruangan Pak Rudi.
            “Iya, ada apa, Pak?”
            “Begini. Kemarin Bapak menerima surat lomba cheerleader. Berhubung kamu adalah ketua cheerleader sekolah kita, jadi Bapak serahkan surat ini ke kamu. Bapak harap tim kita bisa mengikuti lomba ini, karena lomba ini adalah lomba bergengsi se-Jakarta.”
            “Oh iya, Pak. Nanti saya akan beritahu anggota yang lain.”
            “Ya sudah. Sekarang kamu kembali ke kelas kamu. Takutnya gurumu sudah masuk.”
            “Baik, Pak. Terima kasih. Saya permisi dulu.”
            Nanda pun kembali ke kelasnya. Ia duduk di tempatnya, tepat di sebelah tempat duduk Reva.
            “Eh, surat apa itu, Nan? Surat cinta ya? Cieee.. Pagi-pagi sudah dapat surat cinta.” goda Reva ketika melihat Nanda memegang sebuah surat.
            “Ah, sembarangan kamu. Ini bukan surat cinta. Tapi surat lomba cheers. Tadi sebelum masuk kelas, Pak Rudi memberi surat ini kepadaku.”
            “Oh, surat lomba ya? Aku kira surat cinta hehehe.”
            Pembicaraan mereka pun terputus ketika guru Bahasa Indonesia, Pak Haryo datang. Akhirnya, mereka pun kembali mengikuti pelajran. Sepulang sekolah, Nanda mengumpulkan anggota cheers yang lainnya untuk membicarakan lomba tersebut.
            “Jadi bagaimana teman-teman? Kalian mau ikut lomba ini? Kalau aku sih mau, berhubung lomba ini bergengsi, dan juga untuk mempertahankan gelar juara umum yang dipegang oleh sekolah kita.” kata Nanda.
            “Iyalah, Nan. Kita harus ikut lomba ini. Lumayan juga kan hadiahnya hehehe.” celetuk Tari.
            “Alah, kamu tuh mikirnya duit terus. Wooo..” sahut Putri.
            “Aku cuma bercanda, Put.” kata Tari.
            “Sudah sudah. Jadi bagaimana yang lain?” tanya Nanda.
            “Hmm aku mau ikut deh, Nan.” kata Reva.
            Anggota-anggota yang lain pun mengekor Reva dan setuju untuk mengikuti lomba tersebut. Sejak saat itu, mereka selalu berlatih setiap pulang sekolah. Mereka tetap berusaha untuk menampilkan yang terbaik pada saat lomba nanti. Tak hanya gerakan split, meroda, atau hand stand, mereka bahkan membuat piramida untuk penampilan mereka nanti.
            Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Ya. Hari itu adalah hari penampilan tim cheers Nanda. Ternyata, pada perlombaan itu, diadakan juga lomba basket antar sekolah. Dan tim basket sekolah Nanda akan bertanding pada hari itu juga. Oleh karena itu, tim cheers masing-masing sekolah akan memberi dukungan saat lomba basket dilaksanakan.
            “Sekarang mari kita sambut penampilan cheers dari SMA Tunas Budi!!”
            Teriakan penonton menggema saat nama sekolah Nanda, SMA Tunas Budi, diucapkan. Tim cheers SMA Tunas Budi tampil energik dan aktif dengan balutan pakaian berwarna pink dan biru. Nanda, selaku kapten cheers, menjadi front dan tampil cantik di depan. Suaranya bergema di stadion untuk memberikan aba-aba pada teman-temannya. Selesai mereka tampil, riuh tepuk tangan dan teriakan pun menggema di stadion.
            “Ah... Akhirnya kita sudah tampil ya. Menurutku penampilan kita tadi bagus kok. Menurut kalian?” tanya Reva.
            “Iya, bagus kok. Setidaknya kita sudah menampilkan yang terbaik. Betul tidak?” sahut Nanda.
            “Iya, betul itu, Nan. Eh, ayo kita siap-siap. 15 menit lagi, tim basket sekolah kita akan bertanding. Kita kan harus mendukung mereka.” kata Natasha.
            “Oh iya iya.”
            Mereka pun segera bersiap-siap untuk mendukung tim basket SMA Tunas Budi yang akan melawan SMA Permata Jaya. Tak lupa, mereka juga membawa pom-pom untuk lebih memeriahkan acara.
            “Mari kita sambut pertandingan basket antara SMA Tunas Budi dan SMA Permata Jaya!!” teriak pembawa acara.
            Sorak-sorai penonton dari masing-masing sekolah memenuhi stadion saat satu per satu anggota tim basket dari SMA Tunas Budi dan SMA Permata Jaya keluar. Mereka pun bersiap-siap di posisi masing-masing. Bola dilempar ke atas sebagai tanda bahwa perlombaan sudah dimulai. Pada babak pertama skor yang dihasilkan imbang, yaitu 14-14. Lalu, pada babak kedua, SMA Permata Jaya melambung dengan skor yang lebih tinggi. Namun, pada babak ketiga, SMA Tunas Budi menyeimbangkan skor dengan SMA Permata Jaya. Dan pada babak terakhir, terjadi pertarungan sengit antar kedua SMA tersebut. Pada akhirnya, SMA Tunas Budi pun unggul dengan skor 72-60.
            Setelah itu, Nanda pun pulang ke rumahnya. Setibanya di rumah, ia sadar bahwa dompetnya tertinggal di stadion. Ia sangat panik. Akhirnya, ia pun bergegas menuju ke stadion. Tapi, ketika sampai di depan pintu rumahnya, ia melihat ada sebuah mobil terparkir di depan halaman rumahnya. Ia melihat seseorang keluar dari mobil itu. Itu Arfin. Ketua tim basket SMA Permata Jaya. Nanda sangat kaget. Ia memang sudah mengagumi Arfin sejak lama, sekitar 6 bulan lalu, tepatnya saat mereka bertemu di lomba basket yang diadakan sekolah Nanda.
            “Eh, kamu Nanda, ya? Maaf, tadi aku tidak sengaja menemukan dompetmu. Terus di dompetmu ada alamat rumahmu, jadi aku datang kesini untuk mengembalikannya.” terang Arfin.
            “Oh, eh iya... Eh, terima kasih, ya.” sahut Nanda dengan terbata-bata.
            “Tenang saja, aku dompetmu aman kok. Aku tidak mengambil apapun. Kalau tidak percaya, buka saja.” kata Arfin.
            “Oh, iya iya. Hehe.” kata Nanda. Duh, kenapa aku jadi gugup begini, ya? Pikir Nanda dalam hati.
            “Ngomong-ngomong, kamu kapten cheers SMA Tunas Budi, kan?” tanya Arfin.
            “Iya. Kok kamu tahu? Dan kamu Arfin kan?”
            “Iya, soalnya tadi aku lihat kamu waktu tampil. Penampilan kamu bagus banget! Loh kok kamu tahu aku Arfin?
“Terima kasih. Iyalah, soalnya kamu sangat terkenal di kalangan anak cewek hehehe.”
“Masa? Hahaha tidak juga. Oh iya, selamat juga untuk tim basket sekolahmu, ya. Aku mengaku kalah deh. Soalnya anak-anak basket sekolahmu memang jago hehehe.”
            “Wah, tidak kok. Tim basketmu juga jago, cuma mungkin hari ini keberuntungan berpihak pada tim basket sekolahku saja hahaha.”
            “Kamu bisa saja. Sudah sore, sebaiknya aku pulang dulu. Kan niatku cuma untuk mengembalikan dompetmu. Kapan-kapan aku mampir lagi deh, kalau dibolehkan saja hahaha.”
            “Tentu saja boleh, kenapa tidak? Hahaha.”
            “Ya sudah, aku pulang dulu ya.”
            “Iya, terima kasih ya sudah mengantarkan dompetku kembali.”
            “Iya, sama-sama.”
            Ternyata, sejak saat itu Arfin sering main ke rumah Nanda. Ia juga sering menjemput Nanda di sekolah, namun Nanda menolak untuk pulang bersama Arfin. Walaupun begitu, mereka sering SMS-an, telfonan, dan bahkan mereka pernah pergi bersama. Nanda merasa ini semua adalah mimpi. Ia tidak bernah berpikir jika semua akan menjadi seperti ini. Ia tidak pernah berpikir bahwa ia akan bisa sedekat ini dengan Arfin. Mereka yang dulu tidak saling mengenal, sekarang bagaikan dua sejoli yang selalu digoda oleh teman-teman mereka, walau memang tidak ada hubungan spesial diantara mereka. Nanda merasa sangat bahagia karena ia bisa menghabiskan hari-harinya bersama orang yang ia kagumi dan cintai.
            Hingga suatu hari, Arfin mengajak Nanda pergi ke sebuah cafĂ©. Di sana, seperti biasa, mereka berbincang-bincang tentang segalah hal. Sekolah, teman, musik, guru, semuanya. Ternyata, saat itu Arfin berniat untuk mengutarakan perasaannya kepada Nanda. Semenjak Arfin datang ke rumah Nanda, Arfin merasa tertarik dengan Nanda. Sikap Nanda yang ceria, energik, baik, dan ramah membuat Arfin merasa nyaman saat berbicara dengannya.
            “Hm Nan.. Ada sesuatu yang aku mau cerita sama kamu.” kata Arfin.
            “Apa? Cerita saja, Fin.”
            “Jadi begini. Sejak aku datang ke rumahmu buat mengembalikan dompetmu, aku merasa kamu itu berbeda dari cewek yang lain. Kamu supel, ramah, baik, dan ceria. Tidak seperti kebanyakan cewek yang supel, tapi kadang ada yang arogan, sombong, dan sok. Dan aku merasa aku nyaman dengan keadaan seperti itu. Dan aku mau hubungan kita tidak hanya sebatas teman, tapi lebih dari teman. Jadi... Em.. Kamu mau jadi pacarku?”
            Nanda kaget mendengar ucapan Arfin. Ternyata, Arfin merasakan hal yang sama dengannya. Nanda bimbang antara ingin menerima Arfin atau menolaknya.
            “Fin, sebenarnya aku juga punya perasaan yang sama seperti kamu. Tapi, dibanding dunia, aku lebih takut akhirat. Aku lebih takut kepada Dia. Aku ingin lebih tunduk kepada-Nya. Kamu tahu kan kalau bertatap muka dengan lawan jenis saja sudah dosa, apalagi pacaran. Lebih baik kita berteman saja, kan kita masih bisa ngobrol atau bertemu. Tapi jujur, aku juga cinta sama kamu, Fin..”
            Arfin menyadari bahwa Nanda lebih memilih larangan-Nya daripada dia. Arfin memahami alasan Nanda. Ia mengerti mengapa Nanda menolaknya.
            Sejak saat itu, hubungan mereka masih baik. Mereka masih sering bertukar kabar lewat SMS, Y!m, ataupun Skype. Tapi, kedekatan mereka tidak berlangsung lama. Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka semakin renggang. Mereka mulai sibuk dengan urusan masing-masing, terlebih mereka juga belajar di sekolah yang berbeda. Mereka menganggap diri mereka berdua seperti 2 orang yang tidak saling mengenal dan tidak pernah memiliki hubungan spesial ataupun bertemu sebelumnya. Mereka mulai melupakan memori tentang masa lalu mereka berdua.
            Kini, mereka menjalani hidup masing-masing. Nanda melanjutkan pendidikan di Belanda, sedangkan Arfin melanjutkan pendidikan di Australia. Mereka tetap mengikuti arus takdir kehidupan mereka, tidak terhalang oleh bayang-bayang masa lalu. Memori bersama yang dulu masih tinggal di pikiran mereka masing-masing, kini hilang bagai butiran debu yang tertiup angin. Walau kadang, masih terlintas sekelebat bayangan tentang kebersamaan mereka berdua saat SMA dulu.

Takdir Kisahku


Awalnya semua penuh cinta
Penuh kasih
Penuh rasa sayang
Selaras dengan angan dan keinginanku

Tiba-tiba dia datang dengan muslihat dan tipu dayanya
Bagai batu yang mengikis harapanku
Bagai bencana yang memporak porandakan hubungan kita

Kini kuharus jalan sepi hariku
Kuharus hadapi rintangan dan cobaan ini
Kuharus lewati segalanya, dengan kesendirianku

Walau bayang-bayangmu selalu menghampiriku
Walau harus kuredam amarah dan dendam ini
Walau harus kuseka galau ini
Hanya untuk menggapai takdirku, walau harus ditinggal olehmu