Sabtu, 16 Agustus 2014

Cerita Perjalanan ke Tempat Wisata Kota Tua Jakarta


Kota Tua Jakarta terletak di Jalan Taman Fatahillah, Jakarta Barat. Tempat ini merupakan representasi Jakarta pada masa dahulu. Meski bangunan-bangunan yang terdapat disini terbilang sudah lama, namun tetap terjaga dan bagus untuk dijadikan objek foto. Saya sudah dua kali mengunjungi Kota Tua Jakarta. Kunjungan pertama bersama teman saya dan kunjungan kedua bersama keluarga saya. Dalam kedua kunjungan tersebut, kesan yang saya dapat sama, yaitu: ramai. Ya, memang Kota Tua Jakarta ini ramai. Tidak hanya karena banyaknya bangunan tua khas jaman dahulu yang sangat unik, namun juga karena tidak adanya biaya masuk alias gratis.


Salah satu bangunan yang terdapat di Kota Tua Jakarta

Saat mengunjungi Kota Tua Jakarta pertama kali bersama teman saya, kami mengggunakan Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line dari Stasiun Universitas Indonesia menuju Stasiun Jakarta Kota. Sesampainya di Stasiun Jakarta Kota, kami hanya perlu berjalan sekitar 100 meter dan akhirnya sampailah kami di Kota Tua Jakarta. Sedangkan, ketika saya mengunjungi Kota Tua Jakarta bersama keluarga saya, kami menggunakan kendaraan pribadi.
Apa saja yang dapat dilakukan di Kota Tua Jakarta? Tentu saja selain berfoto ria secara gratis dengan latar bangunan tua tempo dulu khas Belanda, kita juga dapat memutari Kota Tua Jakarta menggunakan sepeda onthel untuk merasakan atmosfer pada zaman dulu. Di Kota Tua Jakarta banyak disewakan sepeda onthel bagi para pengunjung dengan tarif Rp 20.000,00 untuk penggunaan selama 30 menit. Harga tersebut juga dilengkapi dengan peminjaman topi jika pengunjung berminat.

Sepeda onthel yang disewakan di Kota Tua Jakarta

Selain itu, banyak juga dijajakan berbagai macam makanan ataupun jajan, seperti es potong, es selendang mayang, pecel, dan kerak telor. Harga yang ditawarkan juga tidaklah mahal. Ada juga terdapat beberapa stand komunitas, seperti komunitas seni, dimana kita bisa memesan untuk melukis wajah atau stand mobil tua, dimana kita bisa berfoto dengan mobil tersebut. Satu komunitas yang menurut saya menarik adalah Komunitas Manusia Batu Taman Fatahillah (Kombat). Komunitas ini sangat unik karena mereka berlagak seperti patung, lengkap dengan cat yang diwarnai ke seluruh tubuh mereka dan juga aksesoris pendukung, untuk menghibur pengunjung. Mereka akan diam di tempat tertentu dan tidak bergerak seperti patung layaknya manusia batu. Kita dapat berfoto dengan mereka dan memberi uang seikhlasnya di kotak yang terletak di depan mereka.

Foto adik saya bersama salah satu anggota Kombat

Hal lain yang dapat kita lakukan ketika berada di Kota Tua Jakarta adalah memasuki museum yang terdapat disana. Ada Museum Fatahillah, Museum Wayang, Museum Bank Mandiri, Museum Bank Indonesia, dan Museum Seni Rupa dan Keramik. Info yang saya dapatkan dari satpam salah satu museum tersebut adalah pada hari Senin tidak ada museum yang dibuka. Sehingga, lebih baik mengunjungi Kota Tua Jakarta selain pada hari Senin agar dapat masuk ke museum-museum tersebut.
Ketika saya pergi ke Kota Tua Jakarta bersama teman saya, saya kebetulan masuk ke salah satu museum, yaitu Museum Fatahillah. Dengan merogoh kocek sebesar Rp 25.000,00 (untuk mahasiswa, saya lupa berapa harga tiket masuk untuk umum), kami pun masuk ke dalamnya. Di dalam museum tersebut terdapat banyak karya seni. Saya kurang memiliki pengetahuan tentang seni sejujurnya, namun bagi saya semua karya seni disini sangat bagus dan memanjakan mata saya yang awam ini. Selain karya seni, terdapat juga pertunjukan video yang bisa kita nikmati.

"Baik Boeroek Tanah Airkoe Djoea" karya Agapetus A. Kristiandana.
Salah satu karya seni di Museum Fatahillah

"Mencari Indonesia" karya Dipo Andi
Salah satu karya seni di Museum Fatahillah

Sebagai penutup, Kota Tua Jakarta memang tempat yang bagus untuk didatangi. Selain gratis, akan mengesankan pula bagi kita ketika melihat bangunan-bangunan tua yang merupakan saksi perkembangan kota Jakarta ini. Jadi, Anda tidak mungkin menyesal datang ke Kota Tua Jakarta dan jangan lupa untuk mengunjungi tempat wisata ini bersama teman atau keluarga Anda. J

Sumber:
http://www.kotatuajakarta.org/ (diakses pada tanggal 16 Agustus 2014)


Kamis, 21 Februari 2013

Mencontek

Rani segera membereskan buku-bukunya di atas meja setelah bel berbunyi dan Bu Wati keluar dari kelas.
"Ran, mau kemana? Kok buru-buru banget?" tanya Sonya.
"Iya nih. Soalnya ada tes di tempat les Bahasa Inggris. Harusnya sih tesnya tadi jam 9, tapi kan masih sekolah, jadi aku izin buat tes habis pulang sekolah."
"Hm.. Gitu ya... Semangat deh, semoga dapat nilai A++++ hahahaha."
"Sembarangan, emang ada nilai A++++? Hahaha.. Makasih yaaa. Aku duluan. Dah."
"Dadah."

Rani pun melangkahkan kakinya ke parkiran sekolah. Ia segera menuju ke tempatnya memarkir mobil. Ia menyalakan mesin mobilnya, dan melaju menuju rumahnya.

10 menit kemudian, Rani sudah sampai di rumahnya. Mamanya menyambutnya di depan pintu.

"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Tumben pulang cepat. Gimana sekolahnya tadi, Ran?" tanya Mamanya.
"Hm.. Biasa aja sih."
"Oh iya, nanti kamu mau tes di tempat les Bahasa Inggris, 'kan?"
"Iya. Ini makanya aku pulang cepat supaya ga terlambat nanti."
"Ya udah, kamu bersih-bersih badan dulu deh. Baru habis itu makan, terus baru pergi ke tempat les. Ya?"
"Iya."

Rani lalu berlari ke kamarnya. 5 menit kemudian, ia turun dan berpakaian seadanya, lalu menyantap makanan yang disediakan Mamanya.

"Ran, nanti mau Mama antar atau pergi sendiri aja?"
"Pergi sendiri aja deh, Ma. Soalnya nanti aku juga mau ke toko buku."
"Hm.. Ya udah. Sukses ya nanti tesnya. Anak Mama kan pinter."
"Iya, pasti dong hahaha. Udah ya, Ma. Aku berangkat dulu. Nanti takut terlambat. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Hati-hati ya, Ran."
"Iya."

Rani segera memacu mobilnya ke tempat lesnya. Jarak tempat les tersebut dengan rumahnya tidak terlalu jauh. Apalagi dengan jalanan yang cukup lengang hari ini, ia akan mencapai tempat tersebut kurang dari 10 menit.

Setelah memarkir mobilnya, Rani kemudian masuk ke tempat lesnya. Staf yang duduk di meja depan sudah mengenal Rani, dan ia mempersilahkan Rani untuk masuk ke ruangan yang telah ditentukan. Ketika Rani masuk, ternyata ada seorang laki-laki di dalam ruangan itu. Laki-laki itu tentu bukan guru atau staf di tempat les tersebut, karena ia tidak memakai seragam. Ia pasti salah satu siswa disini yang mau ikut tes, pikir Rani. Rani pun duduk di dekat laki-laki tersebut.

5 menit kemudian, seorang guru masuk. Ia memberikan instruksi dan tata tertib saat tes. Rani melakukan semua yang telah dijelaskan guru tersebut. Setelah Rani dan laki-laki asing tersebut siap, tes pun dimulai. Tes pertama adalah tes listening. Rani mendengarkan dengan seksama kaset yang dimainkan di radio.

25 menit berlalu. Kaset sudah berhenti, pertanda tes listening telah selesai. Selanjutnya adalah tes structure. 20 nomor pertama Rani tidak terlalu mendapat kesulitan, namun di nomor-nomor berikutnya Rani menjadi semakin bingung. Apalagi, ada beberapa kata yang ia tidak tahu artinya. Tanpa sengaja, ia melihat ke arah laki-laki yang bersamanya di ruangan itu. Saat itu memang tidak ada yang mengawasi tes yang mereka laksanakan. Rani melihat laki-laki itu sedang mengutak-atik HP-nya. Rani tidak tahu pasti apa yang dilakukan laki-laki itu dengan HP-nya. Mungkin ia sedang mengirim pesan kepada temannya, mengirim BBM, atau mungkin......mencontek? Rani langsung mengusir pikiran tersebut. Ia berusaha berpikir positif bahwa laki-laki itu hanya sedang mengirim SMS atau sebagainya.

5 menit berlalu. Tiba-tiba Rani melihat gerak-gerik laki-laki yang bersamanya itu. Rani meliriknya lagi. Dan iya, laki-laki itu masih mengutak-atik HP-nya. Rani menyelidiki laki-laki itu. Ternyata, laki-laki itu mengutak-atik HP-nya sambil sesekali melihat ke soal tes. Rani merasa curiga, mungkin benar bahwa laki-laki ini memang mencontek. Rani merasa jengkel bercampur kesal karena ia tidak suka dengan ketidakadilan seperti ini. Ia telah bersusah payah belajar dan berusaha untuk mendapatkan skor yang bagus, di sampingnya malah ada orang yang seenaknya saja mengerjakan soal sambil melihat terjemahan di HP-nya. Huuhhh... Sebel!!! umpat Rani dalam hati.

Rani sebenarnya ingin menegur orang tersebut, tapi ia mengurungkan niatnya. Ia mencoba untuk tetap fokus pada tes tersebut dan menjernihkan pikirannya agar tidak terbuyarkan oleh hal memalukan yang dilakukan laki-laki tersebut. Jujur, Rani memang tidak pernah mencontek, tapi ia pernah sesekali bertanya kepada temannya. Itu pun hanya 2 kali ia lakukan, saat ulangan Fisika ketika ia memang tidak belajar sama sekali pada malam hari sebelumnya, dan pada saat ulangan Sejarah ketika ia memang tidak tahu menahu tentang soal yang diberikan, dan tentu saja Rani tidak mungkin mengarang bebas pada ulangan Sejarahnya, 'kan?

Rani pun kembali berkonsentrasi pada kertas soalnya. Akhirnya, setelah mengalami perdebatan yang cukup sengit antara pikiran (karena pusing memikirkan jawaban) dan perasaan (karena jengkel melihat orang lain mencontek), tes tersebut kemudian selesai. Rani langsung turun dan menuju ke mobilnya. Saat berada di mobil, Rani berniat untuk tidak pulang ke rumah dulu. Ia pergi ke sebuah cafe yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat lesnya tadi.

Di sana, ia memesan segelas hot chocolate sambil mendengarkan lagu Fix You dari Coldplay di iPod-nya. Kemudian, kejadian saat tes tadi terbersit di benaknya. Ternyata begini ya perasaannya orang yang ga nyontek tapi liat orang lain nyontek... Katanya dalam hati. Rani merasa bahwa ia telah salah saat mencontek di ulangan Fisika dan Sejarah. Rani merasa bahwa mencontek bukan jalan pintasnya. Lebih baik ia mendapatkan nilai jelek bila memang itu yang benar-benar ia kuasai, daripada nilai bagus tapi ternyata dia tidak mengerti apa-apa.

Setelah itu, Rani tergugah untuk berusaha keras dan selalu belajar untuk menghadapi tes-tes atau ujian-ujian yang akan ia lalui. Bukan malah membuat "pelampung" atau bergantung pada contekan. Ia rasa, semua itu akan berbuah indah pada akhirnya. Makasih ya Mas, karena kamu saya jadi sadar nyontek itu salah, dan saya ga mau nyontek lagi hehehe.. Kata Rani dalam hati sambil tersenyum dan berlagak seperti berbicara kepada orang yang mencontek di tempat lesnya tadi.

Selasa, 18 Desember 2012

Pertemuan Singkat


            “Nanda! Sini dulu!” panggil Pak Rudi. Teriakan Pak Rudi mengentikan langkah Nanda dan Nanda segera menuju ke ruangan Pak Rudi.
            “Iya, ada apa, Pak?”
            “Begini. Kemarin Bapak menerima surat lomba cheerleader. Berhubung kamu adalah ketua cheerleader sekolah kita, jadi Bapak serahkan surat ini ke kamu. Bapak harap tim kita bisa mengikuti lomba ini, karena lomba ini adalah lomba bergengsi se-Jakarta.”
            “Oh iya, Pak. Nanti saya akan beritahu anggota yang lain.”
            “Ya sudah. Sekarang kamu kembali ke kelas kamu. Takutnya gurumu sudah masuk.”
            “Baik, Pak. Terima kasih. Saya permisi dulu.”
            Nanda pun kembali ke kelasnya. Ia duduk di tempatnya, tepat di sebelah tempat duduk Reva.
            “Eh, surat apa itu, Nan? Surat cinta ya? Cieee.. Pagi-pagi sudah dapat surat cinta.” goda Reva ketika melihat Nanda memegang sebuah surat.
            “Ah, sembarangan kamu. Ini bukan surat cinta. Tapi surat lomba cheers. Tadi sebelum masuk kelas, Pak Rudi memberi surat ini kepadaku.”
            “Oh, surat lomba ya? Aku kira surat cinta hehehe.”
            Pembicaraan mereka pun terputus ketika guru Bahasa Indonesia, Pak Haryo datang. Akhirnya, mereka pun kembali mengikuti pelajran. Sepulang sekolah, Nanda mengumpulkan anggota cheers yang lainnya untuk membicarakan lomba tersebut.
            “Jadi bagaimana teman-teman? Kalian mau ikut lomba ini? Kalau aku sih mau, berhubung lomba ini bergengsi, dan juga untuk mempertahankan gelar juara umum yang dipegang oleh sekolah kita.” kata Nanda.
            “Iyalah, Nan. Kita harus ikut lomba ini. Lumayan juga kan hadiahnya hehehe.” celetuk Tari.
            “Alah, kamu tuh mikirnya duit terus. Wooo..” sahut Putri.
            “Aku cuma bercanda, Put.” kata Tari.
            “Sudah sudah. Jadi bagaimana yang lain?” tanya Nanda.
            “Hmm aku mau ikut deh, Nan.” kata Reva.
            Anggota-anggota yang lain pun mengekor Reva dan setuju untuk mengikuti lomba tersebut. Sejak saat itu, mereka selalu berlatih setiap pulang sekolah. Mereka tetap berusaha untuk menampilkan yang terbaik pada saat lomba nanti. Tak hanya gerakan split, meroda, atau hand stand, mereka bahkan membuat piramida untuk penampilan mereka nanti.
            Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Ya. Hari itu adalah hari penampilan tim cheers Nanda. Ternyata, pada perlombaan itu, diadakan juga lomba basket antar sekolah. Dan tim basket sekolah Nanda akan bertanding pada hari itu juga. Oleh karena itu, tim cheers masing-masing sekolah akan memberi dukungan saat lomba basket dilaksanakan.
            “Sekarang mari kita sambut penampilan cheers dari SMA Tunas Budi!!”
            Teriakan penonton menggema saat nama sekolah Nanda, SMA Tunas Budi, diucapkan. Tim cheers SMA Tunas Budi tampil energik dan aktif dengan balutan pakaian berwarna pink dan biru. Nanda, selaku kapten cheers, menjadi front dan tampil cantik di depan. Suaranya bergema di stadion untuk memberikan aba-aba pada teman-temannya. Selesai mereka tampil, riuh tepuk tangan dan teriakan pun menggema di stadion.
            “Ah... Akhirnya kita sudah tampil ya. Menurutku penampilan kita tadi bagus kok. Menurut kalian?” tanya Reva.
            “Iya, bagus kok. Setidaknya kita sudah menampilkan yang terbaik. Betul tidak?” sahut Nanda.
            “Iya, betul itu, Nan. Eh, ayo kita siap-siap. 15 menit lagi, tim basket sekolah kita akan bertanding. Kita kan harus mendukung mereka.” kata Natasha.
            “Oh iya iya.”
            Mereka pun segera bersiap-siap untuk mendukung tim basket SMA Tunas Budi yang akan melawan SMA Permata Jaya. Tak lupa, mereka juga membawa pom-pom untuk lebih memeriahkan acara.
            “Mari kita sambut pertandingan basket antara SMA Tunas Budi dan SMA Permata Jaya!!” teriak pembawa acara.
            Sorak-sorai penonton dari masing-masing sekolah memenuhi stadion saat satu per satu anggota tim basket dari SMA Tunas Budi dan SMA Permata Jaya keluar. Mereka pun bersiap-siap di posisi masing-masing. Bola dilempar ke atas sebagai tanda bahwa perlombaan sudah dimulai. Pada babak pertama skor yang dihasilkan imbang, yaitu 14-14. Lalu, pada babak kedua, SMA Permata Jaya melambung dengan skor yang lebih tinggi. Namun, pada babak ketiga, SMA Tunas Budi menyeimbangkan skor dengan SMA Permata Jaya. Dan pada babak terakhir, terjadi pertarungan sengit antar kedua SMA tersebut. Pada akhirnya, SMA Tunas Budi pun unggul dengan skor 72-60.
            Setelah itu, Nanda pun pulang ke rumahnya. Setibanya di rumah, ia sadar bahwa dompetnya tertinggal di stadion. Ia sangat panik. Akhirnya, ia pun bergegas menuju ke stadion. Tapi, ketika sampai di depan pintu rumahnya, ia melihat ada sebuah mobil terparkir di depan halaman rumahnya. Ia melihat seseorang keluar dari mobil itu. Itu Arfin. Ketua tim basket SMA Permata Jaya. Nanda sangat kaget. Ia memang sudah mengagumi Arfin sejak lama, sekitar 6 bulan lalu, tepatnya saat mereka bertemu di lomba basket yang diadakan sekolah Nanda.
            “Eh, kamu Nanda, ya? Maaf, tadi aku tidak sengaja menemukan dompetmu. Terus di dompetmu ada alamat rumahmu, jadi aku datang kesini untuk mengembalikannya.” terang Arfin.
            “Oh, eh iya... Eh, terima kasih, ya.” sahut Nanda dengan terbata-bata.
            “Tenang saja, aku dompetmu aman kok. Aku tidak mengambil apapun. Kalau tidak percaya, buka saja.” kata Arfin.
            “Oh, iya iya. Hehe.” kata Nanda. Duh, kenapa aku jadi gugup begini, ya? Pikir Nanda dalam hati.
            “Ngomong-ngomong, kamu kapten cheers SMA Tunas Budi, kan?” tanya Arfin.
            “Iya. Kok kamu tahu? Dan kamu Arfin kan?”
            “Iya, soalnya tadi aku lihat kamu waktu tampil. Penampilan kamu bagus banget! Loh kok kamu tahu aku Arfin?
“Terima kasih. Iyalah, soalnya kamu sangat terkenal di kalangan anak cewek hehehe.”
“Masa? Hahaha tidak juga. Oh iya, selamat juga untuk tim basket sekolahmu, ya. Aku mengaku kalah deh. Soalnya anak-anak basket sekolahmu memang jago hehehe.”
            “Wah, tidak kok. Tim basketmu juga jago, cuma mungkin hari ini keberuntungan berpihak pada tim basket sekolahku saja hahaha.”
            “Kamu bisa saja. Sudah sore, sebaiknya aku pulang dulu. Kan niatku cuma untuk mengembalikan dompetmu. Kapan-kapan aku mampir lagi deh, kalau dibolehkan saja hahaha.”
            “Tentu saja boleh, kenapa tidak? Hahaha.”
            “Ya sudah, aku pulang dulu ya.”
            “Iya, terima kasih ya sudah mengantarkan dompetku kembali.”
            “Iya, sama-sama.”
            Ternyata, sejak saat itu Arfin sering main ke rumah Nanda. Ia juga sering menjemput Nanda di sekolah, namun Nanda menolak untuk pulang bersama Arfin. Walaupun begitu, mereka sering SMS-an, telfonan, dan bahkan mereka pernah pergi bersama. Nanda merasa ini semua adalah mimpi. Ia tidak bernah berpikir jika semua akan menjadi seperti ini. Ia tidak pernah berpikir bahwa ia akan bisa sedekat ini dengan Arfin. Mereka yang dulu tidak saling mengenal, sekarang bagaikan dua sejoli yang selalu digoda oleh teman-teman mereka, walau memang tidak ada hubungan spesial diantara mereka. Nanda merasa sangat bahagia karena ia bisa menghabiskan hari-harinya bersama orang yang ia kagumi dan cintai.
            Hingga suatu hari, Arfin mengajak Nanda pergi ke sebuah café. Di sana, seperti biasa, mereka berbincang-bincang tentang segalah hal. Sekolah, teman, musik, guru, semuanya. Ternyata, saat itu Arfin berniat untuk mengutarakan perasaannya kepada Nanda. Semenjak Arfin datang ke rumah Nanda, Arfin merasa tertarik dengan Nanda. Sikap Nanda yang ceria, energik, baik, dan ramah membuat Arfin merasa nyaman saat berbicara dengannya.
            “Hm Nan.. Ada sesuatu yang aku mau cerita sama kamu.” kata Arfin.
            “Apa? Cerita saja, Fin.”
            “Jadi begini. Sejak aku datang ke rumahmu buat mengembalikan dompetmu, aku merasa kamu itu berbeda dari cewek yang lain. Kamu supel, ramah, baik, dan ceria. Tidak seperti kebanyakan cewek yang supel, tapi kadang ada yang arogan, sombong, dan sok. Dan aku merasa aku nyaman dengan keadaan seperti itu. Dan aku mau hubungan kita tidak hanya sebatas teman, tapi lebih dari teman. Jadi... Em.. Kamu mau jadi pacarku?”
            Nanda kaget mendengar ucapan Arfin. Ternyata, Arfin merasakan hal yang sama dengannya. Nanda bimbang antara ingin menerima Arfin atau menolaknya.
            “Fin, sebenarnya aku juga punya perasaan yang sama seperti kamu. Tapi, dibanding dunia, aku lebih takut akhirat. Aku lebih takut kepada Dia. Aku ingin lebih tunduk kepada-Nya. Kamu tahu kan kalau bertatap muka dengan lawan jenis saja sudah dosa, apalagi pacaran. Lebih baik kita berteman saja, kan kita masih bisa ngobrol atau bertemu. Tapi jujur, aku juga cinta sama kamu, Fin..”
            Arfin menyadari bahwa Nanda lebih memilih larangan-Nya daripada dia. Arfin memahami alasan Nanda. Ia mengerti mengapa Nanda menolaknya.
            Sejak saat itu, hubungan mereka masih baik. Mereka masih sering bertukar kabar lewat SMS, Y!m, ataupun Skype. Tapi, kedekatan mereka tidak berlangsung lama. Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka semakin renggang. Mereka mulai sibuk dengan urusan masing-masing, terlebih mereka juga belajar di sekolah yang berbeda. Mereka menganggap diri mereka berdua seperti 2 orang yang tidak saling mengenal dan tidak pernah memiliki hubungan spesial ataupun bertemu sebelumnya. Mereka mulai melupakan memori tentang masa lalu mereka berdua.
            Kini, mereka menjalani hidup masing-masing. Nanda melanjutkan pendidikan di Belanda, sedangkan Arfin melanjutkan pendidikan di Australia. Mereka tetap mengikuti arus takdir kehidupan mereka, tidak terhalang oleh bayang-bayang masa lalu. Memori bersama yang dulu masih tinggal di pikiran mereka masing-masing, kini hilang bagai butiran debu yang tertiup angin. Walau kadang, masih terlintas sekelebat bayangan tentang kebersamaan mereka berdua saat SMA dulu.

Takdir Kisahku


Awalnya semua penuh cinta
Penuh kasih
Penuh rasa sayang
Selaras dengan angan dan keinginanku

Tiba-tiba dia datang dengan muslihat dan tipu dayanya
Bagai batu yang mengikis harapanku
Bagai bencana yang memporak porandakan hubungan kita

Kini kuharus jalan sepi hariku
Kuharus hadapi rintangan dan cobaan ini
Kuharus lewati segalanya, dengan kesendirianku

Walau bayang-bayangmu selalu menghampiriku
Walau harus kuredam amarah dan dendam ini
Walau harus kuseka galau ini
Hanya untuk menggapai takdirku, walau harus ditinggal olehmu

Minggu, 02 September 2012

Aku, Untukmu


Mungkin aku tidak seperti dia
Yang bertabur harta dan berlimpah kawan
Mungkin aku tidak seperti dia
Yang rupawan dan berusaha selalu ada untukmu

Karena aku hanyalah aku
Aku apa adanya
Yang mencintaimu dan menyayangimu sepenuh hatiku
Dan akan selalu berusaha untuk ada di sisimu

Namun, semua hal itu kusimpan
Dalam tawa dan canda kita
Layaknya burung
Yang berada dalam sangkar emasnya

Yang aku ingin hanya dirimu
Bukan dirinya, dia, dia, atau dia
Yang aku ingin hanya perhatianmu
Bukan perhatiannya, dia, dia, atau bahkan mereka

Bagiku, memilikimu bagaikan meraih langit
Walaupun sudah berkali-kali aku mencoba
Aku tidak dapat meraihnya
Dan walaupun aku tidak dapat meraihnya
Aku tetap mencoba untuk mendapatkannya