“Nanda! Sini dulu!” panggil Pak
Rudi. Teriakan Pak Rudi mengentikan langkah Nanda dan Nanda segera menuju ke
ruangan Pak Rudi.
“Iya, ada apa, Pak?”
“Begini. Kemarin Bapak menerima
surat lomba cheerleader. Berhubung kamu adalah ketua cheerleader sekolah kita,
jadi Bapak serahkan surat ini ke kamu. Bapak harap tim kita bisa mengikuti
lomba ini, karena lomba ini adalah lomba bergengsi se-Jakarta.”
“Oh iya, Pak. Nanti saya akan
beritahu anggota yang lain.”
“Ya sudah. Sekarang kamu kembali ke
kelas kamu. Takutnya gurumu sudah masuk.”
“Baik, Pak. Terima kasih. Saya
permisi dulu.”
Nanda pun kembali ke kelasnya. Ia
duduk di tempatnya, tepat di sebelah tempat duduk Reva.
“Eh, surat apa itu, Nan? Surat cinta
ya? Cieee.. Pagi-pagi sudah dapat surat cinta.” goda Reva ketika melihat Nanda
memegang sebuah surat.
“Ah, sembarangan kamu. Ini bukan
surat cinta. Tapi surat lomba cheers. Tadi sebelum masuk kelas, Pak Rudi
memberi surat ini kepadaku.”
“Oh, surat lomba ya? Aku kira surat
cinta hehehe.”
Pembicaraan mereka pun terputus
ketika guru Bahasa Indonesia, Pak Haryo datang. Akhirnya, mereka pun kembali
mengikuti pelajran. Sepulang sekolah, Nanda mengumpulkan anggota cheers yang
lainnya untuk membicarakan lomba tersebut.
“Jadi bagaimana teman-teman? Kalian
mau ikut lomba ini? Kalau aku sih mau, berhubung lomba ini bergengsi, dan juga
untuk mempertahankan gelar juara umum yang dipegang oleh sekolah kita.” kata
Nanda.
“Iyalah, Nan. Kita harus ikut lomba
ini. Lumayan juga kan hadiahnya hehehe.” celetuk Tari.
“Alah, kamu tuh mikirnya duit terus.
Wooo..” sahut Putri.
“Aku cuma bercanda, Put.” kata Tari.
“Sudah sudah. Jadi bagaimana yang
lain?” tanya Nanda.
“Hmm aku mau ikut deh, Nan.” kata
Reva.
Anggota-anggota yang lain pun
mengekor Reva dan setuju untuk mengikuti lomba tersebut. Sejak saat itu, mereka
selalu berlatih setiap pulang sekolah. Mereka tetap berusaha untuk menampilkan
yang terbaik pada saat lomba nanti. Tak hanya gerakan split, meroda, atau hand stand, mereka bahkan membuat
piramida untuk penampilan mereka nanti.
Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu
pun tiba. Ya. Hari itu adalah hari penampilan tim cheers Nanda. Ternyata, pada
perlombaan itu, diadakan juga lomba basket antar sekolah. Dan tim basket
sekolah Nanda akan bertanding pada hari itu juga. Oleh karena itu, tim cheers
masing-masing sekolah akan memberi dukungan saat lomba basket dilaksanakan.
“Sekarang mari kita sambut
penampilan cheers dari SMA Tunas Budi!!”
Teriakan penonton menggema saat nama
sekolah Nanda, SMA Tunas Budi, diucapkan. Tim cheers SMA Tunas Budi tampil
energik dan aktif dengan balutan pakaian berwarna pink dan biru. Nanda, selaku
kapten cheers, menjadi front dan
tampil cantik di depan. Suaranya bergema di stadion untuk memberikan aba-aba
pada teman-temannya. Selesai mereka tampil, riuh tepuk tangan dan teriakan pun
menggema di stadion.
“Ah... Akhirnya kita sudah tampil
ya. Menurutku penampilan kita tadi bagus kok. Menurut kalian?” tanya Reva.
“Iya, bagus kok. Setidaknya kita
sudah menampilkan yang terbaik. Betul tidak?” sahut Nanda.
“Iya, betul itu, Nan. Eh, ayo kita
siap-siap. 15 menit lagi, tim basket sekolah kita akan bertanding. Kita kan
harus mendukung mereka.” kata Natasha.
“Oh iya iya.”
Mereka pun segera bersiap-siap untuk
mendukung tim basket SMA Tunas Budi yang akan melawan SMA Permata Jaya. Tak
lupa, mereka juga membawa pom-pom untuk lebih memeriahkan acara.
“Mari kita sambut pertandingan
basket antara SMA Tunas Budi dan SMA Permata Jaya!!” teriak pembawa acara.
Sorak-sorai penonton dari masing-masing
sekolah memenuhi stadion saat satu per satu anggota tim basket dari SMA Tunas
Budi dan SMA Permata Jaya keluar. Mereka pun bersiap-siap di posisi
masing-masing. Bola dilempar ke atas sebagai tanda bahwa perlombaan sudah
dimulai. Pada babak pertama skor yang dihasilkan imbang, yaitu 14-14. Lalu,
pada babak kedua, SMA Permata Jaya melambung dengan skor yang lebih tinggi.
Namun, pada babak ketiga, SMA Tunas Budi menyeimbangkan skor dengan SMA Permata
Jaya. Dan pada babak terakhir, terjadi pertarungan sengit antar kedua SMA
tersebut. Pada akhirnya, SMA Tunas Budi pun unggul dengan skor 72-60.
Setelah itu, Nanda pun pulang ke
rumahnya. Setibanya di rumah, ia sadar bahwa dompetnya tertinggal di stadion.
Ia sangat panik. Akhirnya, ia pun bergegas menuju ke stadion. Tapi, ketika
sampai di depan pintu rumahnya, ia melihat ada sebuah mobil terparkir di depan halaman
rumahnya. Ia melihat seseorang keluar dari mobil itu. Itu Arfin. Ketua tim
basket SMA Permata Jaya. Nanda sangat kaget. Ia memang sudah mengagumi Arfin
sejak lama, sekitar 6 bulan lalu, tepatnya saat mereka bertemu di lomba basket
yang diadakan sekolah Nanda.
“Eh, kamu Nanda, ya? Maaf, tadi aku
tidak sengaja menemukan dompetmu. Terus di dompetmu ada alamat rumahmu, jadi
aku datang kesini untuk mengembalikannya.” terang Arfin.
“Oh, eh iya... Eh, terima kasih,
ya.” sahut Nanda dengan terbata-bata.
“Tenang saja, aku dompetmu aman kok.
Aku tidak mengambil apapun. Kalau tidak percaya, buka saja.” kata Arfin.
“Oh, iya iya. Hehe.” kata Nanda. Duh,
kenapa aku jadi gugup begini, ya? Pikir Nanda dalam hati.
“Ngomong-ngomong, kamu kapten cheers
SMA Tunas Budi, kan?” tanya Arfin.
“Iya. Kok kamu tahu? Dan kamu Arfin
kan?”
“Iya, soalnya tadi aku lihat kamu
waktu tampil. Penampilan kamu bagus banget! Loh kok kamu tahu aku Arfin?
“Terima kasih. Iyalah, soalnya kamu
sangat terkenal di kalangan anak cewek hehehe.”
“Masa? Hahaha tidak juga. Oh iya,
selamat juga untuk tim basket sekolahmu, ya. Aku mengaku kalah deh. Soalnya
anak-anak basket sekolahmu memang jago hehehe.”
“Wah, tidak kok. Tim basketmu juga
jago, cuma mungkin hari ini keberuntungan berpihak pada tim basket sekolahku
saja hahaha.”
“Kamu bisa saja. Sudah sore,
sebaiknya aku pulang dulu. Kan niatku cuma untuk mengembalikan dompetmu.
Kapan-kapan aku mampir lagi deh, kalau dibolehkan saja hahaha.”
“Tentu saja boleh, kenapa tidak?
Hahaha.”
“Ya sudah, aku pulang dulu ya.”
“Iya, terima kasih ya sudah
mengantarkan dompetku kembali.”
“Iya, sama-sama.”
Ternyata, sejak saat itu Arfin
sering main ke rumah Nanda. Ia juga sering menjemput Nanda di sekolah, namun
Nanda menolak untuk pulang bersama Arfin. Walaupun begitu, mereka sering SMS-an, telfonan, dan bahkan mereka
pernah pergi bersama. Nanda merasa ini semua adalah mimpi. Ia tidak bernah
berpikir jika semua akan menjadi seperti ini. Ia tidak pernah berpikir bahwa ia
akan bisa sedekat ini dengan Arfin. Mereka yang dulu tidak saling mengenal,
sekarang bagaikan dua sejoli yang selalu digoda oleh teman-teman mereka, walau
memang tidak ada hubungan spesial diantara mereka. Nanda merasa sangat bahagia
karena ia bisa menghabiskan hari-harinya bersama orang yang ia kagumi dan
cintai.
Hingga suatu hari, Arfin mengajak
Nanda pergi ke sebuah café. Di sana,
seperti biasa, mereka berbincang-bincang tentang segalah hal. Sekolah, teman,
musik, guru, semuanya. Ternyata, saat itu Arfin berniat untuk mengutarakan
perasaannya kepada Nanda. Semenjak Arfin datang ke rumah Nanda, Arfin merasa
tertarik dengan Nanda. Sikap Nanda yang ceria, energik, baik, dan ramah membuat
Arfin merasa nyaman saat berbicara dengannya.
“Hm Nan.. Ada sesuatu yang aku mau
cerita sama kamu.” kata Arfin.
“Apa? Cerita saja, Fin.”
“Jadi begini. Sejak aku datang ke
rumahmu buat mengembalikan dompetmu, aku merasa kamu itu berbeda dari cewek
yang lain. Kamu supel, ramah, baik, dan ceria. Tidak seperti kebanyakan cewek
yang supel, tapi kadang ada yang arogan, sombong, dan sok. Dan aku merasa aku
nyaman dengan keadaan seperti itu. Dan aku mau hubungan kita tidak hanya
sebatas teman, tapi lebih dari teman. Jadi... Em.. Kamu mau jadi pacarku?”
Nanda kaget mendengar ucapan Arfin.
Ternyata, Arfin merasakan hal yang sama dengannya. Nanda bimbang antara ingin
menerima Arfin atau menolaknya.
“Fin, sebenarnya aku juga punya
perasaan yang sama seperti kamu. Tapi, dibanding dunia, aku lebih takut
akhirat. Aku lebih takut kepada Dia. Aku ingin lebih tunduk kepada-Nya. Kamu
tahu kan kalau bertatap muka dengan lawan jenis saja sudah dosa, apalagi
pacaran. Lebih baik kita berteman saja, kan kita masih bisa ngobrol atau
bertemu. Tapi jujur, aku juga cinta sama kamu, Fin..”
Arfin menyadari bahwa Nanda lebih memilih
larangan-Nya daripada dia. Arfin memahami alasan Nanda. Ia mengerti mengapa
Nanda menolaknya.
Sejak saat itu, hubungan mereka
masih baik. Mereka masih sering bertukar kabar lewat SMS, Y!m, ataupun Skype. Tapi, kedekatan mereka tidak
berlangsung lama. Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka semakin renggang.
Mereka mulai sibuk dengan urusan masing-masing, terlebih mereka juga belajar di
sekolah yang berbeda. Mereka menganggap diri mereka berdua seperti 2 orang yang
tidak saling mengenal dan tidak pernah memiliki hubungan spesial ataupun
bertemu sebelumnya. Mereka mulai melupakan memori tentang masa lalu mereka
berdua.
Kini, mereka menjalani hidup
masing-masing. Nanda melanjutkan pendidikan di Belanda, sedangkan Arfin
melanjutkan pendidikan di Australia. Mereka tetap mengikuti arus takdir
kehidupan mereka, tidak terhalang oleh bayang-bayang masa lalu. Memori bersama
yang dulu masih tinggal di pikiran mereka masing-masing, kini hilang bagai
butiran debu yang tertiup angin. Walau kadang, masih terlintas sekelebat
bayangan tentang kebersamaan mereka berdua saat SMA dulu.